Kamis, 30 Maret 2017

PENDIDIKAN SEBAGAI PARADIGMA PEMBEBASAN



PENDIDIKAN SEBAGAI PARADIGMA PEMBEBASAN
Ing Ngarso Sun Tulodo Ing Madyo Mbangun Karso Tut Wuri Handayani, sebuah semboyan yang tidak asing lagi di telinga dari dulu hingga sekarang. Semboyan dari sang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi saat zaman kolonial belanda yaitu KI Hajar Dewantara dengan spiritnya untuk memberikan pembebasan, bukan hanya pembebasan melawan kebodohan saja tapi pembebasan melawan penindasan serta memberikan penegasan bahwa harakat kemanusiaan juga adalah hal yang wajib di junjung tinggi. Di tengah keseriusanya mencurahkan perhatianya dalam rana pendidikan, ia jua tetap rajin menulis yang beralih pada nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Cerminan di atas dari sang pelopor pendidikan di indonesia ini sudah menjadi cerminan bahwa hakekatnya pendidikan sebagai paradigma pembebasan dan sebagai alat perlawanan. 


Bila di tarik konteks Substansi pemikiran Paulo Freire yang terletak pada pandangan manusia dan dunianya yang di tuangkan dalam pendidikan pembebasan. Pembebasan yang di maksud adalah sebuah transformasi nilai dan sistem yang saling terkait dan kompleks serta reformasi dari individu yang berusaha mereduksi konsekwensi-konsekwensi negatif pada dirinya. Berbicara langkah awal untuk melakukan pendidikan pembebasan melalui penyadaran yang inherent dan merupakan inti atau hakekat dari proses pendidikan itu sendiri. Untuk mewujudkan pendidikan pembebasan hendaknya kita menegasikan sisi pendidikan yang bersifat deskriptif di gantikan dengan bersifat dialogik-transformatif. Dalam artian deskriptif ini sekedar pendidikan yang apa adanya tanpa melihat hal-hal yang urgent dari pendidikan itu sendiri seperti sisi edukasi, transformasi dll. Sehingga siswa dan mahasiswa sekalipun tidak menggangap bahwa pendidikan itu sebagai hal yang memblangu. Hasil yang di harapkan dari pendidikan kepada sasaran edukasi adalah berkembangnya kualitas berfikir, kualitas pribadi, kualitas sosial, kualitas kemandirian, dan kualitas bermasyarakat. 




Konstruk berfikir mengenai pendidikan khusunya di indonesia saat ini serasa tidak mengedepankan sisi edukasi lagi, tidak adanya transformasi nilai nilai pemahaman, kurangnya penanaman moral kepada sasaran edukasi, dll. pendidikan hari ini hanya semata mata menyelesaikan sisi admistratif saja, hanya ingin mengugurkan kewajiban serta pengejaran jam tayang antara pengajar dan pelaja, dan sekedar mencari nilai, mencari ijazah dan gelar saja. Pada awalnya pendidikan menjadi hal yang urgent yang membawa misi pencerahan, pencerdasan dan perubahan sekarang sudah kehilangan orientasinya. Konteks agenda faktualnya pada saat ini dimana masuknya era moderenisasi yang pada hakekatnya bisa memberikan perkembangan dan gerakan yang signifikan dalam sektor pendidikan menjadi kehilangan arah bahkan sudah menina bobokkan urgensi pendidikan. Sehingga tidak di herankan lagi generasi muda bangsa akan buta terhadap kondisi sosialnya, akan lupan peran dan fungsinya, yang mana rasa nasionalisme dan kepeloporanya sudah hilang. Sehingga menjadi pertanyaan besar yaitu dimana peranan dan fungsi pendidikan yang menjadi paradigma pembebasan dan pendidikan menjadi alat perlawanan ?

Melihat kondisi pendidikan yang hari ini semakin mahal, jaminan kerja semakin tidak pasti, dan pandangan masa depan semakin buram, dengan pendidikan yang hanya mengedepankan kebutuhan pasar tanpa melihat tempat belajar atau sekolah-sekolah dan universitas yang menjadi alat produksi untuk mencetak generasi serta mencerdaskan, bukankah hari ini pendidikan manjadi alat penindasan dalam segi pemahama, kebebasan berfikir, kebebasan sosial, dan kebebasan pribadi. 



Maka Paulo Freire yang di anggap mesies dunia ketiga berpendapat  mengenai pendidikan menyerupai (guidance) normatif ikhwal kependidikan. Yaitu berupa pendidikan menjadi guru yang baik dan murid yang baik dalam artian tau dan faham akan peran masing masing serta tanggung jawab. Pendidikan yang produktif menyikapi tentang sosio-kultural dan sosio-politik secara kritis dan bisa bermain cantik dalam sebuah sistem dan terus melakukan prubahan. Substansi pemikiran Freir terletak pada pandangan manusia dan dunianya yang di tuangkan dalam dunia pendidikan yang menghasilkan model pendidikan alternatif yang di tawarkan, yaitu model pendidikan yang membelenggu ke model pendidikan yang membebaskan. 


Maka menjadi sebuah dasar untuk melakukan perubaha, pendidikanlah substansi yang singnifikan, karena pendidkan menggabungkan tindakan dari rekayasa politik, dan upaya untuk mencari berbagai alternatif yang baru dalam kehidupan. Pendidikan menjadi sebuah ajang untuk menuangkan komitmen yang tinggi kepada pendidik agar terwujudnya sistem politik yang emansipatif dan bukan sekedar memenuhi kebutuhab pedagogis saja. Dalam artian bagai mana pendidikan tidak harus memberikan hal yang mendidik saja tetapi pengasahan daya kritis mengenai hal politik juga sangatlah urgen, karena pendidikan menjadi bagian dari rekayasa politik. Sehingga menjadi sebuah tuntutan kepada pendidik agar bisa merefleksikan dan bersikap kritis, maka ini akan menjadi proyek sosial yang paling mendasar. Pendidikan bukan hanya sekedar pendidikan melawan kebodohan, bukan sebagai alat melawan penindasan tetapi juga harus memperkuat keyakinan masyarakat supaya bisa bertahan dalam rangka mengangkat hakekat kemanusiaan.



Maka yang di butuhkan sekarang adalah adanya pendidikan yang dapat menempatkan manusia di posisi yang sentral dalam setiap perkembangan yang terjadi serta mampu mengendalikan dan mengarahkan perubahan yang terjadi. Pada kondisi objektif saat ini di indonesia menerapkan sistem pendidikan “Gaya Bank” yang mana guru sebagay subjek dan murid sebagai objeknya dengan pola guru terus mentransformasikan pengetahuan pada murid. Pada hakekatnya di mana pendidikan dapat menolong manusia dalam pengembangan sikap kritisnya pada dunia, dengan demikian merubahnya. Pandidikan yang harus memberdayakan kebebasan manusia dari dirinya sendiri dan dunia luar. Karna sejatinya pendidikan adalah proses penyesuaian seseorang dengan lingkunganya dengan bidang sosial maupun iklim politik yang ada.

Sabtu, 25 Maret 2017

SOCIAL CLASS (KELAS SOSIAL MASYARAKAT)



Kelas sosial di masyarakat
kelas sosial menjadi suatu keniscayaan yang ada dalam kehidupan di dunia, bahkan sudah di kenal semenjak manusia sudah menjalani hidup berkelompok. Setiap manusia mempunyai penghargaan yang di berikan kepada orang lain, di sisi lain juga manusia pasti mempunyai beberapa hal yang di hargai oleh orang lain.  Sesuatu yang di hargai dan penghargaan ini sudah menjadi embrio atau bibit yang membentuk perbedaan kelas di dalam kelompok kehidupan bermasyarakat, dan menjadi penempatan kedudukan yang tinggi dari hal-hal lainya.
Adapun pandangan bentuk yang di hargai oleh oranglain berupa ekonomi, pendidikan, jabatan, status keluarga, keturunan, tanah, kekuasaan, dll. Jika ada beberapa oarang yang memiliki hal tersebut dalam golongan besar maka menjadi suatu pandangan bahwa orang tersebut berada di golongan lapisan atas. Tetapi menjadi sebaliknya mereka yang kurang memiliki dan bahkan tidak memiliki hal tersebut maka mereka berstatus golongan lapisan bawah dan menjadi rendah di pandang masyarakat.[1]


Dalam ilmu sosiologi perbedaan golongan ini biasa di sebut sebagai social stratification yang sering di kenal dengan lapisan, atau kelas sosial. Pada umumnya masyarakat sudah menegnal perbedaan kelas sosial tersebut semenjak peradaban manusia mulai hidup dalam berkelompok dan berorgabisasi. Sebelumnya perbedaan kelas sosial ini di pandang melalui seks, kepemimpinan dan yang dipimpin, non budak, budak dan pembedaan dalam kekayaan. Dalam hal ini bisa di sebut sebagai class system[2] dalam artian setiap orang sadar akan keberadaan serta kedudukan kelas sosialnya yang di ketahui secara umum oleh masyarakat.
Mendefinisikan kelas sosial sebagai suatu lapisan kedudukan melalui beberapa unsur dalam rangkaian kesatuan status sosial. Ada beberapa definisi menurut ahli sosiolog diantaranya :
Ø  Menurut Pirtim A. Sorokin adalah “pembedaan penduduk dan Masyarakat ke dalam kelas kelas secara bertingkat” dalam artian perbedaan masyarakat dimana pembagian kelas secara bertingkat, ada kelas atas, menengah dan kebawah atau kelas kelas rendah.  
Ø  Menurut Peter Beger pengertian kelas sosial adalah sama seperti yang di rumuskan oleh Marx dan Weber, dimana perbedaan kelas sosial ini di kaitkan dengan posisi seseorang melalui kriteria ekonominya. Dalam arti pembedaan kedudukan di lihat melalui perekonomianya. Yang mana apabila seseorang memiliki prekonomian yang tinggi dan besar mana mereka termasuk dalam golongan orang yang berkelas tinggi (higt class) bahkan mereka yang memiliki perekonomian yang cukup dan kurang maka mereka termasuk dalam golongan menegah (middle class) dan ada golongan kebawah (lower calss).[3]
Ø  Menurut Jeffries mendefinisikan kelas sosial adalah bahwa konsep perbedaan kelas ini melibatkan tiga aspek yaitu Ekonomi, pendidikan dan jabatan, yang mana ketiga hal ini mempunyai keterkaitan yang erat. Jeffries mengemukakan bahwa perekonomian tidak menjadi terminasi dan di jadikan pedoman untuk mengklasifikasikan perbedaan kelas tetapi mempunyai keterkaitan dengan hal yang di atas. Bila di cotohkan ada seseorang yang memiliki prekonomian yang tinggi tetapi belum tentu mempunyai pendidikan yang tinggi bahkan jabatan. sehingga pendidikan dan jebatan memiliki peran yang signifikan dalam menentukan kualifikasi perbedaan kelas.[4]
Ø  Menurut Bernard barber perbedaan kelas sosial bisa di lihat dari kedudukan keluarganya dalam statsu sosial, artinya bila ada seseorang yang memiliki status sosial yang tinggi maka secara tidak langsung status keluarganyapun ikut maik, dan bila sebalikya ada seseorang yang memiliki status sosial rendah maka secara tidak langsung status keluarganyapun ikut turun.[5]
Bila di ambil kesimpulan dari beragam pandangan para sosiolog bahwa pengklasifikasian perbedaan kelas mencakup ekonomi, jabatan, pendidikan, status keluarga, dan pekerjaan. Bial status tersebut naik maka secara tidak langsung pandanga masyarakat akan naik, dan bila di atara hal tersebut turun maka sebaliknya status sosial di masyarakat pula akan turun. Adapun pengejawantahanya adalah laisan-lapisan atau kelas kelas tinggi, sedang dan kelas-kelas rendah.



Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan kelas sosial ini, pandangan dari para sosiolog diantaranya adalah[6]
Ø  Kekayaan & penghasilan
Ø  Pekerjaan
Ø  Pendidikan
Yang mana tiga substansi di atas memberikan dampak secara umum untuk melihat perbedaan kelas tersebut. Karena dari tiga substansi diatas merupakan indikator yang jelas yang dapat di golongkan dalam status sosial.
Macam macam kelas sosial ini memiliki prespektif yang berbeda, dalam beberapa pandagan para sosiolog memiliki keanekaragama dalam memandang lapisan-lapisan atau kelas sosial, diantaranya Marx mengklasifikasikan menjadi dua yaitu kelas borjuis dan kelas proletar, mosca membedakannya menjadi kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai, antara orang kaya dan orang miskin.
Namun sejumlah ilmuan juga memiliki prespektif pembagian kelas menjadi tiga kelas atau lebih yaitu:[7]
Ø  Kelas atas yang mana di pengaruhi oleh kekayaan, penghasilan tinggi dan pendidikan yang tinggi sehingga menimbulkan pengaruh pandangan baik bagi perorangan maupun umum.
Ø  Kelas menengah ini di pengaruhi oleh pendidikan dan penghasilan tinggi serta penghargaan yangtinggi dan dalam perekonomian yang cukup sehingga mereka di libatkan dalam kegiatan komunitas.
Ø  Kelas kebawah mereka biasa terdiri dari kaum buruh kasar yang memiliki perekonomian yang relatif sehingga tidak bisa menabung, pendidikan yang rendah bahkan mereka lebih memilih memikirkan kehidupan langsung daripada masa depan.

 Bila di tarik kesimpulan maka titik berat pada tulisan ini adalah pembagian kelas sosial menjadi tiga bagian yaitu kelas sosial ke atas, kelas sosial menengah dan kelas sosial kebawah.




[1]  Jefta Leibo, “Sosiologi Pedesaan”, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1995), h . 57
[2]  Sorjono Soekanto, “Soiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: Rajawali Press 1987), h 260
[3]  Kamanto Sunarto, “Pengantar Sosiologi”, ( Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1993), h. 115
[4]  Ibid..., h. 115 
[5] Kamanto Sunarto, “ Pengantar Sosiologi”, op.cit., h. 116 
[6] Paul B. Horton , “Sosiologi” , (Jakarta : erlangga 2007), Jilid 2  h.  7-6
[7] Kamanto sunarto, “Pengantar Sosiologi”,  op.cit.,  h. 110

Sabtu, 11 Maret 2017

TEOLOGI PEMBEBASAN



Teologi Pembebasan
Berbicara mengenai teologi tidak terlepas dari aspek ketuhanan, dalam tulisan ini saya sedikit membicarakan mengenai gerakan-gerakan islam yang membebaskan, gerakan islam yang menantang sebuah rezik kepemimpinan yang zhalim, gerakan islam yang memberikan prubahan sosial dalam sebuah kehidupan bermasyarakat. Sebelum membahas dari beberapa substansi terseut hendaknya kita mencari tau mengenai apa itu Teologi

Teologi secarah etimologi adalah berasal dari bahasa yunani yaitu theosh yang artinya Tuhan, Allah dan logia adalah kata-kata, ucapan atau wacana.  Dan secara terminologi teologi adalah pembicaraan segala sesuatu mengenai keterkaitan dengan keyakinan beragama. Dalam pembahasan arti teologi juga membahas segala sesutu yang berhubungan dengan tuhan. Teologi memampukan dan menganjurkan seseorang untuk memahami tradisi keagamaanya sendiri maupun tradisi keagamaan lainya. Di abad pertengahan teologi menjadi pelajaran lokal yang di ajarkan di berbagai sekolah dan universitas melalui cabang ilmu filsafat yang membantu pemikiran teologi. 

“Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota lainnya yang lemah dan tertindas tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic Society)” (Engineer,1999)

Sebuah konsep mengenai islam sebagai teologi pembebasan dari berbagai prespektif. Sebagai awalan teologi pembebasan hadir untuk mengambil alih peran dalam membela kelompok yang tertindas, menggugat sebuah kepemimpinan yang zhalim, anti kemapanan maupun kemapanan religius ataupun kemapanan politik. Sedikit mengutip kembali perkataan dari marx yang mengatakan bahwa “agaman adalah candu masyarakat” bukan sekedar agama saja, tetapi agama yang kemudian ikut memantapkan status quo dan tidak mendukung perubahan. 

Pada awal kemunculan islam membuktikan bahwa tidak semua penganut islam berasal dari golongan elit, Muhammad selaku yang membawakan risalah pada awalnya terlahir dari golongan masyarakat yang sederhana meski keluarganya terpandang dalam status sosial yang tinggi tetapi tidak termaksud dari golongan orang kaya. Dan pada akhirnya islam menjadi tantangan di makkah bagi para saudagar kaya, dalam artian bukan menantang risalah tauhid yang di bawanya melainkan aspek kekuatan islam yang akan melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat makkah dalam aspek sosial maupun politik. 

Islam banyak mengajarkan untuk melihat manusia sederajat, islam juga mengajarkan untuk tidak menimbun harta, ribah, kemiskinan dan kebodohan. Menurut Al-qur’an sendiri kekayaan yang di miliki di dunia ini tidak bersifat absolut dan kekal karna kita perlu menyadari bahwa apapun yang kita miliki di dunia ini hanyalah bersifat sementara dan titipan dari Allah selaku yang maha kaya di seluruh jagad raya.  


Seperti yang kita ketahui bahwa ayat Al-qur’an yang pertama turun di muka bumi adala “iqra” yang mana pada kondisi objektif saat itu bangsa arab masih dalam masa kejahiliyaannya. Arab tidak mengenal budaya menulis. Tetapi Al Qur’an menekankan pena (menulis) sebagai alat untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini memberikan dampak yang liberatif bagi bangsa arab yang dahulunya membenci ilmu sehingga tekun belajar dan memberikan penemuan-penemuan baru selama berabad-abad. Selain itu kacamata cara pandang islma mengenai bias jender di bongkar habis, karna terus membedakan antara kaum laki-laki dan perempuan dan pada hakekatnya semua manusia sama tetapi yang membedakan adalah keimanannya. Selain itu gerakan pembebasan islam memandang manusia adalah dari pembebasan perbudakan pada zaman itu, banyak budak budak dan hamba sahaya yang di berikan kebebasa serta kemerdekaan dan di berikan hak hidup  layak seperti manusia lainya.

Dari contoh di atas kita dapat mencermati mengenai teologi pembebasan islam yang mengambil alih kezaliman dan memberikan dampak perubahan sosial di tengah masyarakat. Dalam hal ini toleransi salah satu yang di junjung tinggi dalam agama islam, tidak ada paksaan untuk beragama.

Bila di tarik konteks dari kehadiran sebuah agama, maka Engineer mengatakan bahwa  jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari sekedar menjadi pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan diri menjdi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial. Dalam artian kehadiran agama bukanlah sebagai alat untuk beribadah saja kepada tuhan melainkan dari ajaran agama tersebut harus adanya transformasi gerakan-gerakan pembelaan untuk menciptakan perubahan sosial. Agama tidak hanya mengajarkan kita untuk beribadah saja kepada tuhan, tanpa kita tidak melihat fenomena sosial yang ada pada hari itu dan saat ini, agama juga mengajarkan untuk terus melawan segala sesuatu kezaliman, dan memberantas ketidak adilan. Ada beberapa contoh dari gerakan teologi pembebasan di antaranaya fenomena seperti Imam Khomeini yang memimpin revolusi Iran akibat tekanan dari Syah, penguasa Iran yang memberlakukan westernisasi. Engineer kembali membandingkan atara marxisme dan tradisi religio-kultural dalam sebuah perubahan sosial. Agama sebagai instrument, dapat digunakan sebagai candu atau malah ideologi yang revolusioner. Seperti Yahudi yang menentang Fir’aun, Islam di Iran menggulingkan Syah dan Kristen di Filipina yang merobohkan Marcos. Revolusi tidak akan muncul bila tidak ada penindasan.   

Bila kita kontekskan pada saat ini sudah banyak terjadi ekploitasi, diskriminasi, dan intimidasi yang dilakukan pada pemimpin pemimpin negara, pada hakekatnya mereka juga bagian dari rakyat, mereka lahir dari hakim rakyat, tetapi bentuk pengejawantahan pengabdian mereka kepada rakyat malah sangat terbalik. Mereka berasal dari rahim rakyat tetapi mereka justru terus mengkebiri hak-hak rakyat. Banyak sekali perubahan sosial yang terjadi di setiap negara terkhususnya di indonesia akan tetapi menjadi pertanyaan, apakah perubahan tersebut berpihak kepada rakyata atau kepentingan kelompok bahkan individu ? 

Ketika kekuasaan berkualisi adakah kehendak rakyat dan ideologi di hargai ? mereka terus mengobral janji dan memberi ilusi tetapi rakyat selalu di bohongi. Mempertontonkan pembagian kekuasaan seolah olah itu hadiah dari tuhan.

Kembali saya menyinggung mengenai teologi pembebasan, Teologis bersifat kontekstual dan juga normatif. Ini adalah sebuah kemestian. Jadi, teologi yang kreatif adalah tanggapan manusia atas kehidupannya yang senantiasa berubah yang diciptakan oleh Tuhan. Azad menyatakan teolog Islam yang dalam proses pencariannya pernah mengatakan dirinya sebagai seorang ateis yang sempurna ini, percaya bahwa Surat Al Fatihah yang merupakan pembuka Al  Qur’an ini merupakan surat yang paling pokok. Semua konsep dalam Al Qur’an terefleksikan disini. Sebagai seorang yang visioner, ia percaya bahwa dunia senantiasa berubah yang memerlukan penafsiran ayatayat suci secara kreatif sesuai dengan setiap kondisi yang baru.  

Menjadi kesimpulan bagi saya sendiri bahwa Komitmen adalah hal yang paling mendasar bagi manusia apalagi dia mengaku beragama. Konsep komitmen dalam Al Qur’an sangat jelas bukan untuk keberhasilan atau kegagalan, atau untuk orang kaya atau miskin. Keberhasilan tidak diukur dari kemenangan atau keberhasilan mengislamkan seseorang, namun diukur dengan kualitas hati yang terdalam. tidak menjadi masalah jika orang yang kaya tadi tidak memeluk Islam. Sayangnya, komitmen keislaman umat muslim saat ini berbeda sekali. Sebagai contoh Engineer menggambarkan komitmen politis –relijius Saudi Arabia, Syiria, Imam Khomeini dan sebagainya dengan jelas. Intinya adalah komitmen terhadap Islam pada dasarnya lebih merupakan artikulasi kepentingan pribadi daripada komitmen keagamaan. Menurutnya, komitmen kepada tatanan sosial yang adil, egaliter dan nir eksploitasi adalah semangat Islam yang sejati. Terus melawan dengan sistem yang tidak mengedepankan sisi kemanusiaan adalah sebuah spirit yang harus terus di tanam dalam diri setiap manusia, segala bentuk ketidak adilan adalah hal yang wajib kita lawan. 

Sedikit mengutip pernyataan dari ibnu taimiyah dalam bukunya, menyatakan bahwa “Kehidupan manusia di muka bumi ini akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai suatu perbutan dosa, daripada dengan tirani yang alim”. Ekstrimnya dikatakan bahwa Alah membenarkan negara yang berkeadilan walaupun dipimpin oleh orang kafir, dan menyalahkan negara yang tidak menjamin keadilan meskipun dipimpin oleh seorang Muslim. Juga disebutkan bahwa dunia akan bisa bertahan dengan keadilan dan kekafiran, namun tidak dengan ketidakadilan dan Islam. Ini menjadi kontrversial dalam pandangan setiap orang apalagi bila kita kontekskan dengan kondisi objektif di indonesia pada beberapa minggu-minggu ini dengan hadirnya pemimpin yang berstatus non muslim, akan tetapi saya tidak membahas ini lebih dalam karan mungkin akan menuai kontroversi yang besar dari kacamata pandang masing masing orang. 

Tulisan mengenai pemimpin muslim yang anti rakyat dan pemimpin yang non muslim tapi pro akan rakyat mungkin akan berlanjut di tulisan-tuluisan setelahnya.

Pembaca yang terhormat, apa bila ada beberapa tulisan yang tidak sesuai dari prespektif anda silahkan komen di kolom komentar, tujuan saya menulis ini bukan ingin mengadu domba sesama melainkan ingin mengejawantahkan prespektif saya melalui tulisan. Sekiranya cukup semoga memberi manfaat kepada sesama, serta menambah wawasan. Ada sedikit stetmen dari saya adalah bahwa ajaran yang di turunkan dari nabi adam sampai nabi muhammad adlah ajaran-ajaran serta gerakan perlawan.