PENDIDIKAN
SEBAGAI PARADIGMA PEMBEBASAN
Ing Ngarso Sun Tulodo Ing Madyo Mbangun Karso Tut Wuri Handayani, sebuah semboyan yang tidak
asing lagi di telinga dari dulu hingga sekarang. Semboyan dari sang pelopor
pendidikan bagi kaum pribumi saat zaman kolonial belanda yaitu KI Hajar
Dewantara dengan spiritnya untuk memberikan pembebasan, bukan hanya pembebasan
melawan kebodohan saja tapi pembebasan melawan penindasan serta memberikan
penegasan bahwa harakat kemanusiaan juga adalah hal yang wajib di junjung tinggi.
Di tengah keseriusanya mencurahkan perhatianya dalam rana pendidikan, ia jua
tetap rajin menulis yang beralih pada nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Cerminan di atas dari sang pelopor pendidikan
di indonesia ini sudah menjadi cerminan bahwa hakekatnya pendidikan sebagai
paradigma pembebasan dan sebagai alat perlawanan.
Bila di tarik konteks Substansi
pemikiran Paulo Freire yang terletak pada pandangan manusia dan dunianya yang
di tuangkan dalam pendidikan pembebasan. Pembebasan yang di maksud adalah
sebuah transformasi nilai dan sistem yang saling terkait dan kompleks serta
reformasi dari individu yang berusaha mereduksi konsekwensi-konsekwensi negatif
pada dirinya. Berbicara langkah awal untuk melakukan pendidikan pembebasan
melalui penyadaran yang inherent dan merupakan inti atau hakekat dari proses
pendidikan itu sendiri. Untuk mewujudkan pendidikan pembebasan hendaknya kita
menegasikan sisi pendidikan yang bersifat deskriptif di gantikan dengan
bersifat dialogik-transformatif. Dalam artian deskriptif ini sekedar pendidikan
yang apa adanya tanpa melihat hal-hal yang urgent dari pendidikan itu sendiri
seperti sisi edukasi, transformasi dll. Sehingga siswa dan mahasiswa sekalipun
tidak menggangap bahwa pendidikan itu sebagai hal yang memblangu. Hasil yang di
harapkan dari pendidikan kepada sasaran edukasi adalah berkembangnya kualitas
berfikir, kualitas pribadi, kualitas sosial, kualitas kemandirian, dan kualitas
bermasyarakat.
Konstruk berfikir mengenai
pendidikan khusunya di indonesia saat ini serasa tidak mengedepankan sisi
edukasi lagi, tidak adanya transformasi nilai nilai pemahaman, kurangnya
penanaman moral kepada sasaran edukasi, dll. pendidikan hari ini hanya semata
mata menyelesaikan sisi admistratif saja, hanya ingin mengugurkan kewajiban
serta pengejaran jam tayang antara pengajar dan pelaja, dan sekedar mencari
nilai, mencari ijazah dan gelar saja. Pada awalnya pendidikan menjadi hal yang
urgent yang membawa misi pencerahan, pencerdasan dan perubahan sekarang sudah
kehilangan orientasinya. Konteks agenda faktualnya pada saat ini dimana
masuknya era moderenisasi yang pada hakekatnya bisa memberikan perkembangan dan
gerakan yang signifikan dalam sektor pendidikan menjadi kehilangan arah bahkan
sudah menina bobokkan urgensi pendidikan. Sehingga tidak di herankan lagi
generasi muda bangsa akan buta terhadap kondisi sosialnya, akan lupan peran dan
fungsinya, yang mana rasa nasionalisme dan kepeloporanya sudah hilang. Sehingga
menjadi pertanyaan besar yaitu dimana peranan dan fungsi pendidikan yang
menjadi paradigma pembebasan dan pendidikan menjadi alat perlawanan ?
Melihat kondisi pendidikan yang
hari ini semakin mahal, jaminan kerja semakin tidak pasti, dan pandangan masa
depan semakin buram, dengan pendidikan yang hanya mengedepankan kebutuhan pasar
tanpa melihat tempat belajar atau sekolah-sekolah dan universitas yang menjadi
alat produksi untuk mencetak generasi serta mencerdaskan, bukankah hari ini
pendidikan manjadi alat penindasan dalam segi pemahama, kebebasan berfikir,
kebebasan sosial, dan kebebasan pribadi.
Maka Paulo Freire yang di
anggap mesies dunia ketiga berpendapat mengenai pendidikan menyerupai (guidance) normatif ikhwal kependidikan.
Yaitu berupa pendidikan menjadi guru yang baik dan murid yang baik dalam artian
tau dan faham akan peran masing masing serta tanggung jawab. Pendidikan yang
produktif menyikapi tentang sosio-kultural dan sosio-politik secara kritis dan
bisa bermain cantik dalam sebuah sistem dan terus melakukan prubahan. Substansi
pemikiran Freir terletak pada pandangan manusia dan dunianya yang di tuangkan
dalam dunia pendidikan yang menghasilkan model pendidikan alternatif yang di
tawarkan, yaitu model pendidikan yang membelenggu ke model pendidikan yang
membebaskan.
Maka menjadi sebuah dasar untuk
melakukan perubaha, pendidikanlah substansi yang singnifikan, karena pendidkan
menggabungkan tindakan dari rekayasa politik, dan upaya untuk mencari berbagai
alternatif yang baru dalam kehidupan. Pendidikan menjadi sebuah ajang untuk
menuangkan komitmen yang tinggi kepada pendidik agar terwujudnya sistem politik
yang emansipatif dan bukan sekedar memenuhi kebutuhab pedagogis saja. Dalam
artian bagai mana pendidikan tidak harus memberikan hal yang mendidik saja
tetapi pengasahan daya kritis mengenai hal politik juga sangatlah urgen, karena
pendidikan menjadi bagian dari rekayasa politik. Sehingga menjadi sebuah
tuntutan kepada pendidik agar bisa merefleksikan dan bersikap kritis, maka ini
akan menjadi proyek sosial yang paling mendasar. Pendidikan bukan hanya sekedar
pendidikan melawan kebodohan, bukan sebagai alat melawan penindasan tetapi juga
harus memperkuat keyakinan masyarakat supaya bisa bertahan dalam rangka
mengangkat hakekat kemanusiaan.
Maka yang di butuhkan sekarang
adalah adanya pendidikan yang dapat menempatkan manusia di posisi yang sentral
dalam setiap perkembangan yang terjadi serta mampu mengendalikan dan
mengarahkan perubahan yang terjadi. Pada kondisi objektif saat ini di indonesia
menerapkan sistem pendidikan “Gaya Bank”
yang mana guru sebagay subjek dan murid sebagai objeknya dengan pola guru terus
mentransformasikan pengetahuan pada murid. Pada hakekatnya di mana pendidikan
dapat menolong manusia dalam pengembangan sikap kritisnya pada dunia, dengan
demikian merubahnya. Pandidikan yang harus memberdayakan kebebasan manusia dari
dirinya sendiri dan dunia luar. Karna
sejatinya pendidikan adalah proses penyesuaian seseorang dengan lingkunganya
dengan bidang sosial maupun iklim politik yang ada.